Sudahkah Aku Merdeka dari Tekanan Sosial?

Tujuh belas Agustus tahun empat lima
Itulah hari kemerdekaan kita
Hari merdeka, nusa dan bangsa
Hari lahirnya bangsa Indonesia
Merdeka
Tanpa disadari, sebulan hampir berlalu sejak kemerdekaan kembali mengulang harinya. Bangsa ini sudah 72 tahun berhasil melepaskan diri dari genggaman para penjajah. Genggaman keji akan kekuasaan dan kungkungan yang mencabut gelora bangsa ini. Genggaman kaku nan acuh yang tidak sedikit pun membuka empati dalam diri dan rasa mereka terhadap kita. Ya, bangsa ini sudah melepaskan diri dari kunkungan itu dalam guliran waktu yang lama, cukup lama.
Apa, sih, makna dari kemerdekaan itu?
Kemerdekaan memiliki makna yang berbeda-beda pada setiap orang. Hal ini dapat terjadi karena setiap orang memiliki keadaan "terjajah"-nya masing-masing. Kondisi kehidupan yang mereka lalui berbeda satu sama lainnya. Begitu pula dari penjajah-penjajah yang menjajah kemerdekannya dalam menjalani hidup.
Pada dasarnya, setiap orang memiliki keinginan yang berbeda satu dengan lainnya. Hal ini dapat disebabkan karena banyak faktor, yang sebagian besarnya berasal dari akumulasi pengalamannya selama mengarungi kehidupan ini. Pembelajaran-pembelajaran itu didapat dari pengalaman memberikan pengetahuan akan dirinya yang semakin jelas.
Hal tersebut dapat berupa hal-hal yang ternyata membuatnya senang atau yang membuat mereka merasa tidak nyaman. Konsepsi akan pengetahuan ini yang menjadi dasar dalam pembentukan keinginan seseorang.
Keinginan-keinginan ini tentunya tidak dapat dipenuhi sepenuhnya. Manusia pada dasarnya hidup dalam suatu kelompok yang bermasyarakat. Pada kelompok ini, terdapat tatanan dan aturan yang disepakati oleh masyarakat tersebut. Hal ini yang menjadi patokan akan boleh atau tidaknya suatu perilaku dilakukan oleh salah seorang anggota masyarakatnya.
Aturan ini sangat mungkin berbenturan dengan keinginan setiap orang. Ketika keinginan seseorang melanggar suatu peraturan, yang pada umumnya menimbulkan kerugian bagi orang lain, tentunya hal itu tidak boleh untuk diwujudkan. Ketika keinginan seseorang berlawanan dengan kepentingan masyarakat umum, tentunya hal itu tidak bisa direalisasikan. Akan tetapi, bagaimana dengan keinginan yang tidak melanggar aturan namun tidak dilakukan oleh orang-orang di sekitar kita? Haruskah keinginan itu dipadamkan?
Sindiran dalam tawa itu mengena cukup dalam pada target sasarannya
Tidak bisa dipungkiri, perilaku orang di sekeliling kita sangat memengaruhi tindakan kita. Kebiasaan dan budaya yang ada di lingkungan sekitar kita memberikan kita tekanan untuk selaras dengan mereka, entah itu hal yang positif atau negatif. Tekanan ini yang memberikan perasaan tidak nyaman kepada kita, walau kita sedang melakukan hal yang positif.
Salah satu contoh yang cukup mainstream di kalangan pelajar, termasuk mahasiswa, adalah pemberian label “ambis”. Belakangan ini, “ambis” yang merupakan singkatan dari ambisius cukup banyak terlontar dan menggema di kalangan pelajar. Orang-orang yang rajin belajar, mengerjakan tugas, dan melakukan hal-hal akademik positif lainnya biasanya akan mendapatkan label ini. Mereka dicap oleh lingkungan sebagai orang yang ambisius.
Candaan serta sindiran yang dibungkus dengan tawa tidak jarang menyenggol orang-orang rajin ini. Beberapa gurauan seperti “aduh, ambis banget nih temanku”, “yah elah, ngapain dah belajar. Sans ajakali, UAS juga masih lama”, “Cuy, deadline tugas masih lama, ngambis banget dah udah ngerjain” seringkali terdengar di telinga kita.
Ya, kesannya sih bercanda, namun mari kita coba renungkan kembali. Ketika kita menjadi objek dalam perilaku ini, apa yang kita rasakan? Tentunya perasaan enggan dan jadi malas, kan? Jadi, ya, pengaruh mereka berhasil hinggap di dalam diri dan pola pikir kita.
Lalu, bagaimana cara melepaskan diri dari tekanan itu?
Pada awalnya, tekanan untuk mengikuti sindir dalam tawa mereka akan terasa besar, sangat besar. Kita jadi cenderung enggan untuk melakukannya lagi, atau menutup diri dan sembunyi-sembunyi jika masih tetap ingin melakukannya. Hal ini adalah respon yang normal karena secara naluriah kita akan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Akan tetapi, apakah dengan hal seperti itu kita merasa merdeka? Tidak, tentu saja tidak.
Menjadi konsisten merupakan cara sederhana yang tidak mudah, tetapi cukup efektif. Sebaiknya, kita tetap melakukan hal tersebut seperti biasa. Pertama, kita yakinkan diri kita bahwa itu adalah yang baik. Hal itu tidaklah salah, bahkan itu yang memang sebaiknya dilakukan oleh kita sebagai pelajar.
Setelah itu, kita masukkan juga pemikiran bahwa ini bisa menjadi peluang kita untuk memengaruhi orang lain. Jadi, pasanglah target yang jauh, yakni kita yang memengaruhi mereka. Adanya target ini akan membuat kita menjadi lebih kuat untuk melakukan hal tersebut tanpa merasa tidak lazim di dalam lingkungan kita.
Setelah memiliki target yang jauh, baru kita biasakan diri untuk konsisten. Pada dasarnya, ketika kita konsisten, kita akan membuat orang lama-lama memaklumi kita. Jadi, mereka pun akan mengenal kita menjadi orang yang memiliki sifat positif itu. Hal ini, bahkan, dapat menjadi cara agar mereka pun terpengaruh. Konsistensi kaum minoritas dapat memengaruhi kaum mayoritas yang kalah konsisten.
Hal ini dapat menjadi cara yang tepat agar kita merasakan kemerdekaan itu. Kemerdekaan, bagiku, tidaklah harus berada dalam konteks yang besar dan negarawan. Akan tetapi, kehidupan kita sehari-hari juga merupakan aspek kemerdekaan yang sangat signifikan berpengaruh untuk kita. Jadi, marilah kita raih kemerdekaan dengan membiasakan perilaku positif, tanpa merasa tidak nyaman akan tekanan lingkungan sekitar. Merdeka!
Sumber gambar: https://thepreachersword.files.wordpress.com/2017/01/freedom-in-christ.jpg
Sumber: https://www.selasar.com/jurnal/38388/Sudahkah-Aku-Merdeka-dari-Tekanan-Sosial

Comments

Popular posts from this blog

The Future Education Course

Reliability and Validity of the Indonesian Version of Big Five Inventory

Social Comparison, Two-sided Sword That We Should Be Careful To